Senin, 14 Juli 2014

HANYA ALAT #3

Hari itu tiba. Hari dimana dia berjanji untuk menyatakan semuanya denganku.
Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk sendiri di dapur, kusiapkan nasi goreng spesial dengan telur mata sapi yang dibentuk hati. Aku menatanya dengan cantik di kotak bekal, tak lupa orange jus yang segar ku siapkan untuknya. Aku tahu pasti dia kelelahan karena aktivitas yang begitu padat hari ini, karena aku sudah pernah merasakannya tahun lalu.
Pukul 12 siang,aku sudah bersiap didepan cermin dengan baju yang sudah kupilih semalaman. Kutabur sedikit bedak ke wajahku lalu kupoles sedikit lip ice ke bibirku. Aku merasa siap bertemu dengannya hari ini, aku ingin mengutarakan semua perasaanku kepadanya hari ini. Aku sudah mengumpulkan keberanian ku. Sudah kulatih kalimat demi kalimat yang akan kuucapkan didepannya'aldi... Aku sayang kamu' beratus kali kuhafal kalimat sederhana itu . Berani tak berani aku harus mengutarakan perasaanku, aku tak mau diam dalam ketidak pastian, cukup satu bulan aku,kamu,kita berada di tengah ombak ketidak pastian.

Kuraih tas ku diatas meja, kuambil bekal yang sudah kukemas dengan tas kecil. Tiga puluh menit kemudian aku sudah berada di SMA ku dulu. Kuparkirkan motorku.
Aku berjalan menuju basecamp OSIS, didekat basecamp, Rendi adik kelasku, sahabatku, tempatku bercerita semua tentang Aldi mulai awalkedekatanku dengan Aldisaat aldi mulai  membeku bahkan tak memberiku kabar seharian  terlihat sedang gelisah, dia duduk di gazebo kecil yang ada disebelah basecamp OSIS. Ketika dia mendengar langkahku, dia langsung menghampiri, memelukku erat, aku tak tahu apa maksut dari pelukannya ini. Pelukan yang penuh amarah, pelukan cemas.
‘ndi, kamu kenapa toh?’ aku mulai kehabisan udara didalam peluknya.
‘maafin aku lin, maafin, harusnya aku tak membiarkan kamu terbang setinggi ini dengan angin yang salah.’  dia melepaskan pelukannya, tangannya mendekap bahuku, sorot matanya hangat, nyaman.
‘kamu ngomong apasih, udah aku  mau ketemu sama aldi dulu ya, doain yang ini sesuai yang diharapkan...ya...’
Belum selesai kalimatku,pintu basecamp terbuka. Sepasang laki-laki dan perempuan, bergandeng tangan tertawa kecil, mereka terlihat bahagia, sang lelaki merangkul mesra bahu wanita disampingnyaa mereka seperti tak menyadari ada orang yang sedang memperhatikan mereka.
Nasi goreng dan orange jus yang ku pegang jatuh. Mataku panas, bulir bulir air mulai membasahi pipiku. Tanganku bergetar hebat, lututku lemas, nafasku memburu. Itu Aldi dan Rena, Rena, mantan kekasihnya, Rena sahabatku! Tapi... kenapa mereka bergandeng tangan seperti itu? Rendi yang sejak tadi berdiri di sebelahku hanya bisa melihat ku yang sedang rapuh.
Dia menoleh, aldi melihat ke arahku, buru-buru ku hapus air mata jahanam yang selalu terjatuh tanpa ku inginkan ini.
‘eh kak Lina udah dateng, mana nih nasi gorengnyaaa udah laperrrrr’ dia setengah berteriak melihatku, sementaara Rena hanya tersenyum disebelahnya.
‘nggh.. jatuh tadi nggak sengaja kesenggol waktu aku taruh di sana’ aku beralasan. Aku tak mau terlihat rapuh didepannya.
‘kak... coba tebak, aku sama Rena udah balikan loh!’ matanya menyipitm pipinya naik, tampak sekali dia bahagia.
‘maaf ya Lin, kemarin aku sempat cemburu sama kamu di twitter, aku masih sayang sama Aldi Lin, dan ternyata Aldi juga masih sayang sama aku, dia uda jelasin semuanya kok lin kalo yang di twitter itu Cuma mention biasa, maaf yaaaa’ Rena memelukku sebentar lalu kembali bergelantung di lengan Aldi.
Biasa? Mention biasa? Semua kedekatan kami Cuma biasa? Air mata yang kubendug jatuh.
‘loh kak lina kenapa? Kok nangis?.’ Aldi mengusap air mataku.
‘enggak, aku seneng aja kok liat kalian uda balikan, akhirnya ya.’ Iya akhirnya hatiku  remuk, akhirnya aku tau yang dia maksud dengan ‘bersabar’ minggu lalu.
‘iya kak akhirnya ya, semua drama kita sukses, akhirnya dia ngaku kalo dia cemburu sama kamu, artinya kan dia masih sayang sama aku kak, yaudah kak kita ke kantin dulu ya, mau titip nggak?’
‘enggak’
‘sekali lagi makasih kak!’ Aldi merangkulku hangat sekali Sebelum dia dan Rena berjalan melaluiku dan Rendi yang daritadi diam tak bergerak.
Drama? Jadi semua ini dia anggap hanya drama? Semua kata manisnya hanya drama?.  Kepalaku pusing, mataku berkunang, mataku panas. Aku berbalik badan berniat meninggalkan Rendi yang hanya terdiam sedari tadi. Dia menahanku. Menarik lenganku yang kecil hingga aku jatuh dan tenggelam dipelukannya. Aku menangis sekuat-kuatnya di tengah pelukannya. Aku gagal mengatakan cinta yang kupendam selama ini. Kejutan ini terlalu keras untukku. Rendi membelai rambutku halus.
‘apa yang kamu inginkan tak selalu dapat kamu raih lin, kamu terlalu sibuk mengejar bintang dilangit,sampai kamu lupa ada seseorang yang menunggu mu seseorang yang mencintaimu dengan tulus yang juga tak berani menyatakan perasaannya, karena mimpimu yang tinggi itu’ Rendi masih membelai halus rambutku
Aku semakin kencang menangis. ‘mana ada ren, selama ini aku mencari pangeran itu, semua Cuma fiktif, gaada yang bener-bener sayang aku.’
‘ada Lin, ada, kamu Cuma perlu ngebuka hatimu aja, peka sama sekitar ada aku...’ Rendi semakin merapatkan pelukannya.
Aku semakin larut dalam dalam tangisku.
Pikiranku masih tertuju pada Aldi, aku tak bisa mencerna dengan baik apa yang Rendi katakan tadi. Bolehkah aku menyebut Aldi sebagai tuan pemberi seribu harapan palsu? Maaf, kalau kamu tak senang dengan julukan yang ku berikan. Tapi, seandainya cinta begitu mudah diungkapkan dan terbalas ketika harapan itu ada maka tidak akan ada yang bernama harapan palsu bukan?
Semua harapan ada karena kamu selalu menebar harapan bahkan saat aku tak ingin berharap, namun tidak semua harapan akan tercipta menjadi nyata.
Jangan! Jangan menjauh lagi tolong kembalilah, pililah aku sebagai jalan pulangmu, aku yang rela tertatih agar kamu tidak merintih. Aku yang rela sakit agar kamu tidak menelan pahitnya hidup. Aku yang rela menjadi abu-abu asalkan harimu tetap berwarna. Izinkan aku tetap sebagai pengagummu yang tenggelam dalam perasaan tanpa balas ini hingga aku kelelahan dalam pengabaianmu.hingga kata sabar bermakna ‘bodoh’ hingga kaki-kaki mungilku menyeret pergi dengan sendirinya. Hingga kamu sadar telah melewatkan cinta sejatimu.

Rendi semakin merapatkan pelukannya, air mataku semakin jadi. Seandainya Aldi yang memelukku seperti ini, seandainya Aldi ada disini bersamaku, bukan dia. Seandainya, iya semua hanya sebatas seandainya.

Rendi mengucapkan beberapa kalimat setengah terbata ditengah pelukannya, ditengah tangisku, aku tak menghiraukannya bahkan tak bisa kucerna dengan baik semua ucapannya. Yang ada dipikiranku kini hanya pengandaian. Hanya rasa rindu, rasa ingin semua kedekatanku dan Aldi kembali seperti semula seperti awal perkenalanku dan dia dulu, tanpa pernah ada akhir yang seperti ini. Mencintai diam-diam memang tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali sakit. Seharusnya dari awal aku mengatakan ini semua kepadanya,seandainya aku tak terlambat mengutarakan rasa. mungkin dia tidak akan mempermainkan perasaanku mungkin dia akan mengisi lembar bahagia dalam hariku. Mungkin. Tapi kenyataan berkata lain. Ternyata dia memilih kembali bersama masalalunya, dia menjilat kembali bualannya. Jika esok kesempatan itu terbuka kembali, akan kucoba sekali lagi untuk memasuki hatinya. Mungkin mereka berkata aku adalah gadis bodoh. Biarkan, biarkan aku larut dalam jatuh cinta diam-diam hingga saatnya tiba. Hingga aku bias memilikinya seutuhnya. Biarkan tetap kupendam rasa ini, kukunci rapat pintu hatiku, kusisakan tempat kosong untuknya. Biarkan, hingga saatnya tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar