Senin, 14 Juli 2014

HANYA ALAT #1

Saat itu aku baru lulus SMA dan hatiku baru saja sembuh dari lukanya. Kini aku mulai menata hati yang sempat pilu oleh cinta di masa SMA. Semasa SMA aku adalah gadis yang sangat aktif, aku adalah ketua umum di Organisasi siswa Intra sekolah. Aku orang yang sangat menjaga wibawa didepan orang-orang, selalu berlagak tegar namun jika kamu mengenalku lebih dekat, aku tak lebih dari seorang gadis kecil penggalau, suka menulis diary, suka berkhayal, sering patah hati dan sayangnya semua orang tahu aku adalah seorang gadis yang selalu gagal mendapatkan cintanya ditengah perjalanan. Banyak laki-laki yang ingin mendekati tapi mereka selalu mundur di tengah jalan karena selalu menganggapku gadis yang terlalu tinggi untuk digapai, padahal aku hanyalah gadis yang sedang berlari kesana kemari mencari serpihan hatinya yang hilang. Aku adalah gadis yang bisa sangat memeperjuangkan perasaannya kepada orang yang benar-benar kusuka, orang yang benar-benar bisa membuatku nyaman, sekalipun orang itu sering menyakitikudan tidak pernah memperjuangkanku.
Semua orang tau aku adalah gadis yang mudah dekat dan bergaul dengan siapa saja, aku mudah memeluk dan menggandeng sahabat laki-lakiku. Suatu ketika aku memasang display picture yang sedang merangkul lengan sahabatku manja di BBM. Lalu Tuhan memberikan jalan agar dia datang ke kehidupanku. Dia adalah adik kelasku sendiri, dia tahu aku tidak pernah benar-benar mempunyai pasangan, dia menggodaku. Melihat foto yang kupajang ,dengan isengnya dia langsung membuat percakapan jahil.
‘si mbak galau sekarang sudah punya pacar ciyeeee’ godanya.
‘apasih, dia Cuma temen kok udah ah jangan suka ngenyek  jomblo nanti kualat.’ balasku sebal sambil memperbaiki posisi tubuhku, aku menata posisi bantal hingga nyaman menjadi sandaran punggungku.
‘aku juga jomblo kali kak, cieee aku jomblo kamu jomblo gimana kalau kita bersatu?.’  Dia terdengar sangat menggemaskan dan menyenangkan.
‘apaan haha kamu lupa? aku ini teman dekat mantan pacarmu dek.’ Aku gemas kali ini aku semakin antusias membalas pesannya.
‘kak, yang namanya mantan itu tetap mantan. Sudah jadi bagian dari masa lalu, sekarang apa salah kalau aku mulai menata hati dan berlabuh ke muara yang baru sekalipun dia dekat dengan muaraku yang lama?’ dia mulai menebarkan bualan manis
‘iyaya apa salahnya kalau kita jadi satu, selama kamu bisa mengisi hati yang kosong?’ aku membalasnya balik, tidak maksud menanggapi gombalannya, aku takut terkena bualannya yang manis yang ujung-ujungnya hanya berbuah harapan palsu. Aku sudah sering memakan harapan palsu, hingga aku terlalu berhati-hati membukakan pintu hati.
Percakapan kita tak hanya berhenti disitu, esok paginya pun dia menyapaku manis, semenjak itu percakapan kita semakin intens, tidak hanya berbentuk kata, kamu mulai menyelipkan beberapa karakter. Pelukan,ciuman,senyuman, meskipun hanya berupa emoticon tapi aku mulai menyukainya, dia mulai membuatku nyaman, dia perlahan menyembuhkan luka di hatiku.
Dia berhasil membuatku membuka pintu hatiku yang kukunci rapat-rapat saat itu. Perlahan aku mulai menaruh simpati padanya, kalimat manisnya yang selalu mengisi pagi hingga malamku, aku bahkan rela menahan kantuk demi bercakap dengannya. Aku menyukai caranya memperhatikanku hingga caranya mengkhawatirkanku, meskipun hanya lewat BBMesangger.
Aku sudah jatuh cinta padanya!. Rendi harus tahu! Aku takut melangkah terlalu jauh, aku takut menyakiti perasaan Rena, aku takut tapi aku mencintainya. Aku membutuhkan tempat cerita aku butuh rendi, sahabatku yang selalu bersedia mendengarkan semua ceritaku yang selalu mengerti apa mauku. Kuambil ponselku, kutekan beberapa digit nomor,nada tersambung.
‘halo?...’
‘Rendiiiii, kamu harus tau kabar baru ini, kita ketemuan di angkringan dekat rumahku ya aku tunggu setengah jam lagi. Daaaa!’ sambungan telepon langsung kututup. Aku langsung berkemas.
Malam yang tenang di seboah angkringan ala jogja di kota Surabaya. Rendi dating dan segera menghampiriku yang sudah menunggunya sekitar 20 menit.
‘kenapa lama banget sih. Kalo aku diambil orang gimanaaa?’ aku menyubit lengannya kesal.
‘iyaiya maaf, tadi macet banget. Ada apa sih serius banget keliatannya’ rendi duduk tepat disebelahku, matanya sayu, dia terlihat sangat lelah. Akupun menceritakan semua hal tentang Aldi, menceritakan kedekatan kita, hingga rasa takutku.
Rendi menarik nafas dalam terlihat sangat berat, matanya kosong menatapku dalam-dalam. ‘jadi.. kamu suka sama anak kelas 12 itu? Kamu suka sama mantan pacar sahabatmu sendiri? Kamu udah ngungkapin perasaan mu ke dia? Kamu yakin nggak dibuat mainan? Kamu….’
‘stop stop satu-satu dong tanyanyaaaaaa. Iya aku suka sama Aldi ren, tapi aku takut. Aku belum berani bilang perasaanku ke dia. Aku kan cewek masak aku duluan yang bilang sih’ aku menggelayut menja ke lengan rendi.
Rendi diam, kali ini dia menatap lalu lalalng kendaraan di jalan raya lama sekali.
‘yaudah, kalo kamu suka, kamu yakin, kejar terus. Gaperlu kamu yang ungkapin, kamu cukup ngasih isyarat aja. Kalau dia beneran sayang pasti dia yang akan bilang.’ Rendi mengelus rambutku seperti mengelus adiknya sendiri.
‘pulang yuk , udah malem. Aku anter ya’ Rendi menghabiskan wedang ronde yang ku pesan untuknya. Wedang ronde yang terlalu lama dibiarkan hingga dingin. Aku mulai membayangkan dan mencerna kalimat rendi tadi, menunggu ya? Berapa lama? Kalau aldi tak kunjung mengucapkan perasaannya, apa aku harus terus menunggu? Seperti wedang ronde ini, dibiarkan terlalu lama menunggu sampai dingin, sampai rasanya tidak enak. Mungkin kalau aku terlalu lama menunggu rasa cinta ini akan berubah menjadi hambar. Mungkin.
‘haiii ngelamun ajasih, ayo pulang’ Rendi menepuk punggungku. Menarik lenganku hingga aku berdiri, menyeretku ke motornya.
Sepanjang jalan aku hanya terdiam. Aku menyusun strategi, aku harus mengungkapkan rasku ke Aldi. Meskipun tak langsung ku ungkapkan, setidaknya aku member isyarat seperti apa kata Rendi tadi.
Hari-hariku berikutnya terasa semakin indah dan lengkap dengan hadirnya dia sebagai penyemangat aktivitasku. Rindupun semakin sering meliar ketika dia tiba-tiba hilang sesaat bahkan saat dia tak sengaja tertidur. Cemburu pun semakin menyesakkan bahkan saat dia selalu menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Namun hingga detik ini, aku masuh belum juga member isyarat mengenai rasaku kepadanya. Aku masih saja menjadi pengecut yang hanya berani mendekatinya dengan obrolan-obrolan menarik. Tanpa pernah mengucap kata sayang. Apakah aku terlalu cepat mengartikan semua ini sebagai ‘cinta’?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar