Saat itu aku baru lulus SMA dan hatiku baru
saja sembuh dari lukanya. Kini aku mulai menata hati yang sempat pilu oleh
cinta di masa SMA. Semasa SMA aku adalah gadis yang sangat aktif, aku adalah
ketua umum di Organisasi siswa Intra sekolah. Aku orang yang sangat menjaga
wibawa didepan orang-orang, selalu berlagak tegar namun jika kamu mengenalku
lebih dekat, aku tak lebih dari seorang gadis kecil penggalau, suka menulis
diary, suka berkhayal, sering patah hati dan sayangnya semua orang tahu aku
adalah seorang gadis yang selalu gagal mendapatkan cintanya ditengah perjalanan. Banyak laki-laki
yang ingin mendekati tapi mereka selalu mundur di tengah jalan karena selalu
menganggapku gadis yang terlalu tinggi untuk digapai, padahal aku hanyalah
gadis yang sedang berlari kesana kemari mencari serpihan hatinya yang hilang.
Aku adalah gadis yang bisa sangat memeperjuangkan perasaannya kepada orang yang
benar-benar kusuka, orang yang benar-benar bisa membuatku nyaman, sekalipun
orang itu sering menyakitikudan
tidak pernah memperjuangkanku.
Semua orang tau aku adalah gadis yang mudah
dekat dan bergaul dengan siapa saja, aku mudah memeluk dan menggandeng sahabat
laki-lakiku. Suatu ketika aku memasang display picture yang sedang merangkul
lengan sahabatku manja di BBM. Lalu Tuhan memberikan jalan agar dia datang ke
kehidupanku. Dia adalah adik kelasku sendiri, dia tahu aku tidak pernah
benar-benar mempunyai pasangan, dia menggodaku. Melihat foto yang kupajang ,dengan isengnya dia
langsung membuat percakapan jahil.
‘si mbak galau sekarang sudah punya pacar
ciyeeee’ godanya.
‘apasih, dia Cuma temen kok udah ah jangan
suka ngenyek jomblo nanti kualat.’ balasku sebal sambil
memperbaiki posisi tubuhku, aku menata posisi bantal hingga nyaman menjadi sandaran
punggungku.
‘aku juga jomblo kali kak, cieee aku jomblo
kamu jomblo gimana kalau kita bersatu?.’
Dia terdengar sangat menggemaskan dan menyenangkan.
‘apaan haha kamu lupa? aku ini teman dekat
mantan pacarmu dek.’ Aku gemas kali ini aku semakin antusias membalas pesannya.
‘kak, yang namanya mantan itu tetap mantan.
Sudah jadi bagian dari masa lalu, sekarang apa salah kalau aku mulai menata
hati dan berlabuh ke muara yang baru sekalipun dia dekat dengan muaraku yang
lama?’ dia mulai menebarkan bualan manis
‘iyaya apa salahnya kalau kita jadi satu,
selama kamu bisa mengisi hati yang kosong?’ aku membalasnya balik, tidak maksud
menanggapi gombalannya, aku takut terkena bualannya yang manis yang
ujung-ujungnya hanya berbuah harapan palsu. Aku sudah sering memakan harapan
palsu, hingga aku terlalu berhati-hati membukakan pintu hati.
Percakapan kita tak hanya berhenti disitu,
esok paginya pun dia menyapaku manis, semenjak itu percakapan kita semakin intens,
tidak hanya berbentuk kata, kamu mulai menyelipkan beberapa karakter.
Pelukan,ciuman,senyuman, meskipun hanya berupa emoticon tapi aku mulai
menyukainya, dia mulai membuatku nyaman, dia perlahan menyembuhkan luka di
hatiku.
Dia berhasil membuatku membuka pintu hatiku
yang kukunci rapat-rapat saat itu. Perlahan aku mulai menaruh simpati padanya,
kalimat manisnya yang selalu mengisi pagi hingga malamku, aku bahkan rela menahan kantuk demi bercakap
dengannya. Aku menyukai caranya memperhatikanku hingga caranya mengkhawatirkanku,
meskipun hanya lewat BBMesangger.
Aku sudah jatuh cinta
padanya!. Rendi harus tahu! Aku takut melangkah terlalu jauh, aku takut
menyakiti perasaan Rena, aku takut tapi aku mencintainya. Aku membutuhkan
tempat cerita aku butuh rendi, sahabatku yang selalu bersedia mendengarkan
semua ceritaku yang selalu mengerti apa mauku. Kuambil ponselku, kutekan
beberapa digit nomor,nada tersambung.
‘halo?...’
‘Rendiiiii, kamu harus
tau kabar baru ini, kita ketemuan di angkringan dekat rumahku ya aku tunggu
setengah jam lagi. Daaaa!’ sambungan telepon langsung kututup. Aku langsung
berkemas.
Malam yang tenang di
seboah angkringan ala jogja di kota Surabaya. Rendi dating dan segera
menghampiriku yang sudah menunggunya sekitar 20 menit.
‘kenapa lama banget
sih. Kalo aku diambil orang gimanaaa?’ aku menyubit lengannya kesal.
‘iyaiya maaf, tadi
macet banget. Ada apa sih serius banget keliatannya’ rendi duduk tepat
disebelahku, matanya sayu, dia terlihat sangat lelah. Akupun menceritakan semua
hal tentang Aldi, menceritakan kedekatan kita, hingga rasa takutku.
Rendi menarik nafas
dalam terlihat sangat berat, matanya kosong menatapku dalam-dalam. ‘jadi.. kamu
suka sama anak kelas 12 itu? Kamu suka sama mantan pacar sahabatmu sendiri?
Kamu udah ngungkapin perasaan mu ke dia? Kamu yakin nggak dibuat mainan? Kamu….’
‘stop stop satu-satu
dong tanyanyaaaaaa. Iya aku suka sama Aldi ren, tapi aku takut. Aku belum
berani bilang perasaanku ke dia. Aku kan cewek masak aku duluan yang bilang
sih’ aku menggelayut menja ke lengan rendi.
Rendi diam, kali ini
dia menatap lalu lalalng kendaraan di jalan raya lama sekali.
‘yaudah, kalo kamu
suka, kamu yakin, kejar terus. Gaperlu kamu yang ungkapin, kamu cukup ngasih
isyarat aja. Kalau dia beneran sayang pasti dia yang akan bilang.’ Rendi
mengelus rambutku seperti mengelus adiknya sendiri.
‘pulang yuk , udah
malem. Aku anter ya’ Rendi menghabiskan wedang ronde yang ku pesan untuknya.
Wedang ronde yang terlalu lama dibiarkan hingga dingin. Aku mulai membayangkan
dan mencerna kalimat rendi tadi, menunggu ya? Berapa lama? Kalau aldi tak
kunjung mengucapkan perasaannya, apa aku harus terus menunggu? Seperti wedang
ronde ini, dibiarkan terlalu lama menunggu sampai dingin, sampai rasanya tidak
enak. Mungkin kalau aku terlalu lama menunggu rasa cinta ini akan berubah
menjadi hambar. Mungkin.
‘haiii ngelamun
ajasih, ayo pulang’ Rendi menepuk punggungku. Menarik lenganku hingga aku
berdiri, menyeretku ke motornya.
Sepanjang jalan aku
hanya terdiam. Aku menyusun strategi, aku harus mengungkapkan rasku ke Aldi. Meskipun
tak langsung ku ungkapkan, setidaknya aku member isyarat seperti apa kata Rendi
tadi.
Hari-hariku berikutnya terasa semakin indah
dan lengkap dengan hadirnya dia sebagai penyemangat aktivitasku. Rindupun
semakin sering meliar ketika dia tiba-tiba hilang sesaat bahkan saat dia tak
sengaja tertidur. Cemburu pun semakin menyesakkan bahkan saat dia selalu
menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Namun hingga detik ini, aku masuh belum juga member isyarat mengenai
rasaku kepadanya. Aku masih saja menjadi pengecut yang hanya berani
mendekatinya dengan obrolan-obrolan menarik. Tanpa pernah mengucap kata sayang. Apakah aku terlalu cepat mengartikan semua ini sebagai ‘cinta’?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar